TAHLILAN
Menurut Ulama Empat Mazhab Hakekat penciptaan manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Karena itu, Allah Subhaanahu
Wata’ala menurunkan kitab-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk mengajarkan
kepada manusia cara beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kenyataannya, masih banyak ritual yang dilakukan oleh umat Islam,
khususnya di Indonesia yang tidak jelas asal usulnya dalam agama, tapi
justru seakan-akan hukumnya menjadi wajib, tahlilan misalnya. Ritual
ini, seakan sudah mengurat daging dan menjadi kelaziman yang mengikat
masyarakat tatkala tertimpa musibah kematian. Tak heran, sangat jarang
keluarga yang tidak menyelenggarakan ritual ini karena takut diasingkan
masyarakatnya. Katanya pula, ritual ini adalah ciri khas penganut mazhab
Syafi’i. Benarkah demikian? Lalu bagaimana pandangan ulama mazhab lain
menyikapi tahlilan?
Tahlilan
adalah acara yang diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga
meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan
selesai, seluruh keluarga, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah
keluarga mayit untuk membaca beberapa ayat al Qur’an, zikir, berikut
doa-doa yang ditujukan kepada mayit. Karena dari sekian zikir yang
dibaca terdapat kalimat tahlil (laa ilaaha illalloh) yang diulang-ulang
ratusan kali, maka acara tersebut dikenal dengan istilah
“tahlilan”.Masyarakat Sulawesi pada umumnya, melaksanakan tahlilan ini
sejak malam pertama, ketiga, ketujuh, kesepuluh, kedua puluh, dan
seterusnya hingga malam ke seratus. Pada acara tersebut, keluarga mayit
menyajikan makanan dan minuman bagi para pelayat.

Dari Jarir bin Abdullah al Bajali
Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى
أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ “Kami (para
sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul pada keluarga orang
meninggal dan membuat makanan (untuk disajikan ke pelayat) termasuk
niyahah (meratapi jenazah yang terlarang).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah,
dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani). Syaikh al Albani menjelaskan,
“Lafal hadits (كُنَّانَرَى) (kami berpendapat) ini kedudukannya sama
dengan meriwayatkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat atau taqrir
(persetujuan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika ini adalah taqrir
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka artinya, hadits ini marfu’
hukman (jalur periwayatannya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam). Bagaimana pun juga, hadits ini dapat dijadikan hujjah.”
(Lihat Shahih Ibnu Majah, 2/48). Ijma’ para sahabat menjadi dasar hukum
Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah. Ini merupakan
kesepakatan para ulama Islam seluruhnya. Riwayat lain, dari Abdullah bin
Ja’far, beliau berkata, “Ketika sampai kabar gugurnya Ja’far,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, اصْنَعُوا لِآلِ
جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ “Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka urusan
yang menyibukkan.” (HR. Ahmad, asy-Syafi’i, dan selainnya, dihasankan
oleh Syaikh al Albani). Apa yang kita saksikan di masyarakat kita,
ternyata sangat berbeda dengan apa yang diperintahkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau memerintahkan untuk membuat
makanan, tapi bukan untuk para pelayat. Sebaliknya, keluarga yang sedang
dirundung dukalah yang lebih berhak untuk dilayani. Dari Ibn Abi
Syaibah, beliau berkata, قَدِمَ جَرِيْرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ : هَلْ
يُـنَاحُ فَبْلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ : لاَ، فَهَلْ تَجْتَمِعُ
النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَ يُطْعِمُ الطَّعَامَ ؟ قَالَ :
نََعَمْ، فَقَالَ : تِلْكَ النِّيَاحَةُ “Jarir mendatangi Umar, lalu Umar
berkata, “Apakah kamu sekalian suka meratapi janazah?” Jarir menjawab,
”Tidak.” Umar berkata, “Apakah ada di antara wanita-wanita kalian, suka
berkumpul di rumah keluarga jenazah dan memakan hidangannya?” Jarir
menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Hal demikan itu adalah sama dengan
niyahah (meratap).”
Ulama Mazhab Menyikapi Selamatan Kematian
1.
Mazhab Syafi’i Saudara-saudara kita yang melaksanakan tahlilan
pada umumnya berdalih, tahlilan adalah ciri khas penganut mazhab
Syafi’i. Namun apa kata Imam Syafi’i sendiri tentang hal ini? Beliau
berkata dalam kitabnya al Umm, 1/318), “Dan saya membenci
berkumpul-kumpul (dalam musibah kematian) sekalipun tanpa diiringi
tangisan, karena hal itu akan memperbarui kesedihan dan memberatkan
tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah
lalu.” Perkataan beliau di atas sangat jelas dan tak bisa ditakwil atau
ditafsirkan kepada arti dan makna lain, kecuali bahwa beliau dengan
tegas melarang berkumpul-kumpul di rumah duka. Ini sekadar berkumpul,
bagaimana pula jika disertai dengan tahlilan malam pertama, ketiga,
ketujuh, dan seterusnya yang tak seorang pun sahabat pernah
melakukannya? Imam Syafi’i juga berkata, “Dan saya menyukai agar para
tetangga mayit beserta kerabatnya untuk membuatkan makanan yang
mengenyangkan bagi keluarga mayit di hari dan malam kematian. Karena hal
tersebut termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum
dan sesudah kita.” (Al Umm,1/317). Imam Nawawi—rahimahullah—berkata,
“Dan adapun duduk-duduk ketika melayat maka hal ini dibenci oleh
Syafi’i, pengarang kitab ini (As-Sirozi) dan seluruh kawan-kawan kami
(ulama-ulama mazhab Syafi’i). (Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 5/278). Imam
Nawawi juga menukil dalam al Majmu’ (5/290) perkataan pengarang kitab
asy-Syamil, “Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan
mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil
sedikit pun (dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bahkan
termasuk bid’ah (hal yang diada-adakan dalam agama), bukan sunnah.”
2. Mazhab
Maliki Imam at-Thurthusi berkata dalam kitab al Hawadits wa al
Bida’ hal. 170-171, “Tidak apa-apa seorang memberikan makanan kepada
keluarga mayit. Tetangga dekat maupun jauh. Karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tatkala mendengar kabar wafatnya Ja’far, beliau
bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang
kepada mereka urusan yang menyibukkan.” Makanan seperti ini sangat
dianjurkan oleh mayoritas ulama karena hal tersebut merupakan perbuatan
baik kepada keluarga dan tetangga. Adapun bila keluarga mayit yang
membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka tidak
dinukil dari para salaf sedikit pun. Bahkan menurutku, hal itu termasuk
bid’ah tercela. Dalam masalah ini, Syafi’i sependapat dengan kami
(mazhab Maliki).”
3. Mazhab Hanafi Al Allamah
Ibnu Humam berkata dalam Syarh Hidayah hal. 1/473, tentang
kumpul-kumpul seperti ini, “Bid’ah yang buruk.”
4. Mazhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 1/496, “Adapun keluarga
mayit membuatkan makanan untuk manusia, maka hal tersebut dibenci karena
akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka serta menyerupai
perilaku orang-orang jahiliyah.” Dan inilah mazhab Hanbaliyah
sebagaimana tersebut dalam kitab al Inshof, 2/565 oleh al Mardawaih.
Inilah di antara perkataan para ulama mazhab menyikapi tahlilan.
Ternyata, selain menguras tidak sedikit harta benda kita—bahkan ada yang
sampai berhutang untuk menyelenggarakan tahlilan—juga tidak bernilai
ibadah di sisi Allah Subhaanahu Wata’ala bahkan dia adalah bid’ah yang
dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabatnya,
dan ulama seluruh mazhab. Sejatinya, seorang muslim setelah mengetahui
hukum sesuatu, maka dia akan berkata seperti perkataan orang-orang
mukmin yang diabadikan dalam al Qur’an, “Kami mendengar, dan kami
patuh.” (QS. An-Nur: 51). Dan jangan sampai, justru ucapan kita
sebagaimana pernyataan orang-orang musyrik yang juga diabadikan dalam al
Qur’an, ketika diseru untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah Azza
Wajalla, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” Maka Allah Azza
Wajalla berkata kepada mereka, “(Apakah mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan
tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170). Wallahul Haadi ilaa
ath-thoriq al Mustaqim.
Penulis: Fahlul Amri
No comments:
Post a Comment