(Wafat 54 H)
Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan
dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki
martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan
Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita
yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan
teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam menikahinya bukan semata-mata karena harta
dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan
kaya. Yang dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah,
kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan,
serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang Janda
Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal
wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam tengah mengalami masa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan
oleh orang-orang Quraisy untuk menyiksa Rasulullah dan kaum muslimin.
Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar
dan silih berganti.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berpikir untuk
kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif
memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi,
masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka
memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga
kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap
sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah
peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul
Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di
sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke
Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk
mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum
musyrikin yang mendengar kisah itu tidak mempercayainya, bahkan
mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus
beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah
yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia
menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan
Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang
mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin
Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat,
berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi
Rasulullah.
Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat
memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang
nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu
Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya,
Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena
khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada
pendiriannya.
Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang
orang yang akan mengurus rumah tangga beliau.
Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena
baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah
tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama
Allah.
Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung
kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih
untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia
adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah
seorang janda, dia adalah Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat
nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul
beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada
Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memilih janda yang
namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya
tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih
karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga
dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika kita rajin menyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan
Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan
menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah
seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga
tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah
memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia
termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan
hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi
Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.
Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di
antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan
luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr,
dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan
Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang
pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok
orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.
Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya,
Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang
dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat
memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang
muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak
mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga
terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa
keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan
Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara
kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka
tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke
Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu
hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin
yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan
pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan
dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah
walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka
menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk
melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang
tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang
kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di
Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut
dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy
yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah
dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum
Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan
tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak
kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah
perjalanan menuju Mekah.
Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya
meninggal dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan
kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan
penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya
ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya
dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah
Saudah binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan
ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa
mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya
janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah
membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan
tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam
kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke
rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang.
Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati
putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya
meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk
Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah
tidak melihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah
sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin,
dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena
itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri
yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah
menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia
dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak,
“Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu
dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang
engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak
pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang
mencampakkannya karena kematian suaminya.
Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri.
Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta
Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zum’ah bin Qais mengetahui siapa yang
akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu
langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke
rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan
perkawinan itu terlaksana dengan baik.
Berada di Rumah Rasulullah
Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia
merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu
Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan
Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati
Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap
dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas
dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin.
Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang
tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua.
Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan
Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk
menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengah-tengah keluarga
Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan
Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan
Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi
kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih
dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang
memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih
sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu
Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya
menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah
melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan
tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia
merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup
bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah,
dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh
kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam hijrah ke
Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus
seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama
Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan
hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia
hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia
kepada Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah
Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan
putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi
Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Islam di
Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar
mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau
hendak membangun keluargamu, ya Rasul?”
Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di
jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan.
Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera
menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang
bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar.
Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia
sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah
sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat
melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk
memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap
keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling
besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah
berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul
bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki keistimewaan
yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita
yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama
Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah
merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk
memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah
semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku
mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan
istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku
sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum
wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengurungkan
niatnya.
Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar
Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan
tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir
hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan
itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya
dengan Saudah.
Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum
berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan
menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah,
dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini
banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum
muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka.
Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang
yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun
mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula
Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu
pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya
bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam meninggal, Saudah tidak
pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan
beliau. Beberapa saat setelah haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau
yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak
pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai
beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan Baitul Mal sebagian
besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan
keridhaan-Nya.
Dia tidak pernah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang
mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya
karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri
untuk beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan
bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga
riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 hijrah.
Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa
Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya
dalam menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk
kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan
keluarganya sendiri.
Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus
ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan
keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus
kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah
memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah,
keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah.
Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di
dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri
Rasulullah lainnya.
Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada
sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di
jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa
berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur
Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap
istri hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
Sayyidah Saudah binti Zum’ah dan semoga Allah memberinya tempat yang
layak di sisi-Nya. Amin.
- shalihah.com -
No comments:
Post a Comment