Saat ini,
keberadaan maksiat dipandang sebagai sebuah tradisi yang wajar. Bahkan
dianggap kebutuhan pokok oleh sekelompok orang. Walhasil, pancaindera
kita pun akrab dengan pelbagai bentuk kemaksiatan. Mulai dari yang kecil
hingga yang serius. Padahal Islam mengajarkan, maksiat betapa pun kecil
dan remeh bentuknya akan membawa dampak negatif bagi kehidupan pribadi
pelakunya dan masyarakat. Tak hanya di akhirat kelak, namun juga di
dunia.
Mungkin
seorang yang bermaksiat mendapatkan kesenangan saat melakukan
kemaksiatan itu. Mungkin juga ia mendapatkan kenikmatan yang dirasakan
ketika tengah berkubang dalam kemaksiatan tersebut. Namun, kesenangan
yang dirasakannya itu hanyalah kesenangan yang menipu.
Kenikmatan yang dirasakan itu tak lain
adalah kenikmatan palsu. Semua itu karena pelaku maksiat tersebut hanya
akan membuat murka Allah, Dzat yang telah menciptakan dirinya. Sekaligus
menantang permusuhan kepada-Nya. Pelaku maksiat juga telah menyerobot
sesuatu yang bukan menjadi hak dia untuk dikerjakan. Sehingga, bagaimana
mungkin dia bisa hidup dengan damai? Dan bagaimana jiwanya bisa tenang?
Sedangkan Allah سبحانه وتعلى berfirman di dalam Al-Qur’an, artinya:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah
dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 14).
PENYEBAB UTAMA KEMAKSIATAN
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Penyebab utama timbulnya semua kemaksiatan baik yang besar maupun yang kecil ada tiga, yaitu:
- Pertama , keterkaitan hati kepada selain Allah.
- Kedua, menuruti dorongan amarah.
- Ketiga, menuruti dorongan syahwat.
- Keempat, kemaksiatan tersebut terwujud dalam perbuatan syirik, kezhaliman dan perbuatan-perbuatan keji.
Bentuk keterkaitan hati kepada selain
Allah cabang-cabangnya begitu banyak dan tingkatan tertinggi di cabang
tersebut ialah syirik serta mengakuai keberadaan ilah selain Allah.
Sedangkan bentuk menuruti dorongan amarah juga memiliki cabang-cabang di
ataranya membunuh jiwa yang diharamkan Allah, inilah cabang tertinggi.
Dan bentuk menuruti dorongan syahwat yang tertinggi dalam
cabang-cabangnya ialah melakukan perbuatan zina. Oleh karena itulah
Allah mengumpulkan ketiganya dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah
Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina,…” (QS. Al-Furqan: 68).
Ketiga perbuatan di atas saling tarik
menarik. Syirk menarik seseorang kepada kezhaliman dan perbuatan keji,
sebagaimana ikhlas dan tauhid akan menjauhkan seseorang dari kezhaliman
dan kekejian itu. Demikian juga kezhaliman, ia menarik seseorang pada
syirik dan pebuatan keji, sebab syirik adalah puncak dari segala
kezhaliman seperti yang difirmankan oleh Allah:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).
Dan perbuatan keji itu sendiri juga
dapat menyeret pelakunya kepada perbuatan syirik dan kezhaliman.
Ketiganya saling berkaitan, yang satu mengajak kepada yang lain. Jika
perbuatan ketiga di atas ada di dalam diri seseorang maka itu adalah
akar dari kemaksiatan yang akan menjadi besar ketika seseorang itu tidak
mengetahuinya.
AKIBAT MAKSIAT
Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memberitahukan kepada kita, bahwa perbuatan dosa dan maksiat bisa membahayakan hati seseorang. Efek ini akan semakin parah jika pelaku kemaksiatan itu makin menjadi-jadi dalam kemaksiatan, serta enggan beristighfar dan bertaubat. Sebaliknya, efek negatif ini akan semakin menyusut seiring dengan berkurangnya maksiat, disertai dengan istghfar dan taubatan nashuha.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memberitahukan kepada kita, bahwa perbuatan dosa dan maksiat bisa membahayakan hati seseorang. Efek ini akan semakin parah jika pelaku kemaksiatan itu makin menjadi-jadi dalam kemaksiatan, serta enggan beristighfar dan bertaubat. Sebaliknya, efek negatif ini akan semakin menyusut seiring dengan berkurangnya maksiat, disertai dengan istghfar dan taubatan nashuha.
Di hari kiamat kelak, tidak ada seorang
pun yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari dahsyatnya hari
tersebut, kecuali orang yang menghadap Rabb-nya dengan hati yang bersih
dari syubhat yang menyesatkan, dan syahwat yang mencelakakan.
Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى, artinya,
“Di hari harta dan anak-anak laki-laki
tak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.” (Asy-syu’ra : 88-89).
Dan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
juga menggambarkan hati seseorang ketika melakukan kemaksiatan dan
seseorang yang sering beristghfar, beliau bersabbda,
“Sesungguhanya seorang mukmin jika melakukan sebuah dosa, maka akan tertitik di hatinya noktah hitam. Maka jika ia tidak mengulanginya lagi dan beristighfar dan bertaubat, hatinya akan kembali putih bersih.” (HR. Ahmad).
Begitulah gambaran orang-orang yang
melakukan kemaksiatan, apabila seorang pelaku maksiat terus-menerus
mengerjakan dosa, maka perbuatannya itu akan menutup hatinya sehigga ia
tidak dapat menerima kebenaran kecuali dengan izin-Nya. Inilah yang
dimaksud dengan ran (tutup) seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
artinya,
“Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Jadi orang-orang yang sering melakukan
maksiat maka hatinya akan sulit menerima kebenaran, walaupun seluruh
manusia dan jin dikumpulkan di permukaan bumi ini untuk memberikan
ketenangan pada hatinya atau kebenaran maka mereka takkan sanggup.
Karena hanya Allahlah yang dapat memberikan ketenangan hati kepada
hamba-hamba-Nya.
Allah سبحانه وتعلى juga mengancam dengan
neraka Jahannam-Nya bagi orang-orang yang tidak mempergunakan hatinya,
matanya dan telinganya dengan baik. Seperti di dalam firman-Nya,
artinya,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan menusia. Mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
MAKSIAT BESELUBUNG TAKDIR
Pelaku maksiat ketika ditanyakan kepadanya, mengapa Anda terus-menerus melakukan kemaksiatan? Maka mereka pun berdalih, “Kalau memamang Allah telah menakdirkanku untuk berbuat maksiat sebelum aku diciptakan bahkan sebelum langit dan bumi diciptakan bagaimana mungkin aku menghindari sesuatu yang telah ditakdirkan-Nya terjadi padaku?” Maka apa jawaban kita kepada mereka yang berdalih seperti itu?
Pelaku maksiat ketika ditanyakan kepadanya, mengapa Anda terus-menerus melakukan kemaksiatan? Maka mereka pun berdalih, “Kalau memamang Allah telah menakdirkanku untuk berbuat maksiat sebelum aku diciptakan bahkan sebelum langit dan bumi diciptakan bagaimana mungkin aku menghindari sesuatu yang telah ditakdirkan-Nya terjadi padaku?” Maka apa jawaban kita kepada mereka yang berdalih seperti itu?
Dengan tegas
kita katakan kepadanya bahwa Al Qur’an telah menjelaskan kebatilan
dalih mereka. Juga telah mematahkan anggapan dan pemahaman keliru
mereka, serta menerangkan bahwa semua itu tidak ada gunanya bagi mereka
pada hari kiamat kelak. Masalah takdir adalah masalah rahasia yang
tidak diketahui oleh siapa pun selain Allah. Masalah takdir baru akan
diketahui oleh selain-Nya setelah takdir tersebut terjadi. Lalu dari
mana seorang pelaku maksiat mengetahui kalau Allah telah menakdirkannya
melakukan maksiat, sehingga ia dengan sesuka hati melakukan
kemaksiatan?
Allah سبحانه
وتعلى telah memuliakan manusia dengan memberikan mereka akal dan
pemahaman. Dia juga telah menurunkan kitap suci dan mengutus para rasul
untuk memberikan penjelasan kepada kaumnya agar mereka mudah memahami
dengan benar antara yang haq dan yang batil. Tidak hanya sampai di situ,
Allah سبحانه وتعلى juga menganugerahkan kepada hamba-Nya rasa iradah
(kemauan) dan qudrah (kemampuan), di mana keduanya bisa ia pergunakan
untuk menempuh salah satu jalan dari dua jalan yang ada.
Misalnya, ketika seseorang diperhadapkan dengan suatu masalah. Yaitu ketika seseorang ingin mengadakan suatu perjalanan ke suatu negeri, dan dia memiliki dua alternatif jalan yang bisa dilewatinya. Yang pertama, jalan yang sangat mudah lagi aman. Sedangkan jalan yang kedua, jalan yang sulit dan penuh bahaya, maka secara akal sehat pasti orang itu lebih memilih jalan yang pertama dan tidak memilih melewati jalan yang kedua. Bukankah seandainya jika dia memilih jalan yang kedua dan berdalih bahwa yang demikian sudah ditakdirkan oleh Allah terjadi padanya, tentulah orang-orang akan mengatakan kepadanya sebagai orang yang tidak memiliki “akal sehat”? Mengapa? Karena ia sudah tahu masalah tersebut sebelum ia mengerjakanya. Jadi ketika suatu kemaksiatan yang sudah diketahui dampak keburukannya bagi seseorang, mengapa masih dikerjakan?
Sebenarnya persoalan ini sudah jelas titik terangnya. Namun hawa nafsu pelaku maksiat itulah yang membutakan dan menulikan jiwanya. Dan dalih yang dipakai oleh si pelaku maksiat untuk membenarkan maksiatnya kepada Allah itu tidak bisa dibenarkan, karena ia melakukan kemaksiatan itu dengan sengaja. Ia sebenarnya tidak tahu apakah hal tersebut telah ditakdirkan oleh Allah terjadi pada dirinya. Sebab memang tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui hal itu kecuali Allah, atau hal itu benar-benar telah terjadi. Sebagai mana firman-Nya,
“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok…” (QS. Luqman: 34).
Jika
demikian halnya, maka bagaimana mungkin bisa dibenarkan seseorang yang
berdalih dengan hal-hal yang tidak diketahuinya ketika ia telah
melakukan maksiat, kemudian menginginkan dispensasi untuk maksiatnya
tersebut?
TAUBAT SEBELUM AJAL
Iblis telah dilaknat dan diturunkan dari
tempat kediamannya yang penuh kemulian hanya karena dia tidak
mengerjakan satu sujud yang diperintahkan kepadanya. Nabi Adam
Alaihissalam telah dikeluarkan dari surga hanya disebabkan oleh sesuap
makanan. Maka janganlah seseorang merasa aman bila kelak Allah
memasukkan dirinya ke dalam neraka hanya karena satu maksiat yang telah
kita lakukannya. Sebagaimana firman-Nya, artinya,
“Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” (QS. Asy-Syams: 15).
Kehidupan seseorang memang tergantung kepada amalan akhirnya yang diperbuatnya. Siapa saja yang shalat kemudian berhadats sesaat sebelum salam, maka shalatnya secara keseluruhan manjadi batal. Begitu juga orang yang di akhir kehidupannya dia melakukan dosa sesaat sebelum matinya, maka dia akan bertemu dengan Allah dengan keseluruhan usianya yang tidak mendatangkan manfaat baginya. Maka adakah orang yang mengetahui akhir kehidupannya? Jika memang tidak ada, maka apalagi yang kita tunggu? Marilah kita segera bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment